Halaman

Minggu, 25 Desember 2011

Opini

Catatan 26 Desember

Tak tahu mengapa hari ini rasa-rasanya saya ingin menulis. Tapi menulis apa? Kumainkan jariku menari diatas tuts-tuts keyboard. Seakan-akan hafal apa teks yang akan di buat. Semalam tanpa sengaja saya melihat sebuah acara TV swasta bertajuk special natal. Para pembicara adalah para fungsionaris gereja yang memang mengerti akan perannya. Satu hal yang bisa saya tangkap adalah religiusitas tingkat tertinggi seorang manusia bukan pada apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Akan tetapi penghambaan pada Sang Pencipta. Bagaimana manusia merasa damai ketika dekat dengan Tuhannya. Bagaimana bahagianya ketika berada di rumah Tuhan. Bagaimana bahagianya bila menolong sesame hanya karena Tuhan, tanpa diembel-embeli ini dan itu. Bicara mengenai ke-Tuhanan tak lepas dari berfikir filsafat dan itu tidak mudah. Oleh karena itu, saya tidak ingin membahas lebih jauh lagi mengenai hal ini dan tentu akan menjurus kepada kekufuran (Ya Allah hanya kepadamu hamba berserah). Indonesia yang merupakan Negara pancasila jelas turut andil dalam pemikiran saya. Beda ketika saya hidup di Negara yang hanya ada satu agama. Tent pemikiran saya akan lurus-lurus saja.
Islam yang dikatakan agama rahmatan lil alamin sudah mengajarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang fundamental. Tentang bagaimana bersikap terhadap sesame, bagaimana saling menghargai dan menghormati sesame manusia. Sungguh indahnya persaudaraan sesame muslim dan indahnya perdamaian. Namun miris rasanya mendengar berita akhir-akhir ini mengenai kerusuhan Mesuji dan Bima di Negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Siapa yang harus disalahkan, tentu manusianya. Kalau sudah tahu manusianya, mengapa tidak ada yang ambil pelajaran malah terkesan saling menyalahkan.
Persoalan ini lagi-lagi masalah agrarian, mengenai tanah tempat rakyat hidup. Dan ini bukan kasus pertama, dari banyak kasus itu selalu yang berkuasa yang menang. Rakyat harus gigit jari hak-haknya dicabut oleh system. Ya system pemerintah yang melembaga itu tak kunjung sembuh dari sakitnya hingga kini. Walaupun ini era keterbukaan informasi public.
Dunia memang sudah jauh berubah, tapi sisa-sisa dari penjajahan masih berakar di negeri yang sedang berkembang ini. Hokum rimba berlaku ‘siapa yang bertahan dialah ang menang, siapa yang diatas dijatuhkan, siapa yang disamping dibuang dan siapa yang dibawah dinjak-injak’. Padahal hokum ini tidak manusiawi karena memang perilaku hewani. Lalu pertanyaannya sampai kapan persoalan ini berakhir. Tentu perlulah campur tangan dari semua pihak, bukankah ada jalan musyawarah yang tidak menimbulkan korban. Perubahan strukur dan infrastruktur yang berimbang, rakyat yang lebih cerdas dalam arti tidak mudah terprovokasi serta petugas keamanan yang tanggap masalah. Tapi yang paling utama menjadi garda depan perubahan adalah pemimpin yang diamini oleh rakyatnya. Semoga Negara ini bisa jadi lebih baik untuk anak-anak kita nanti… Amiiiiin ………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar