BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jika kita menilik ke belakang, maka kita akan tahu bagaimana Kompilasi Hukum Islam (KHI) lahir. Apa saja yang melatarbelakangi lahirnya KHI. Serta bagaimana imbasnya dalam pembentukan pasal-pasal dalam KHI.
Terbentuknya hokum Islam (hokum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat muslim. Sejak terbentuknya Peradilan Agama yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hokum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya hokum kekeluargaan Islam yang tertulis, karena ternyata kitab-kitab hokum yang digunakan rujukan oleh para hakim untuk pengambilan putusan terlalu banyak dan beragam sehingga tidak tercapai suatu kepastian hokum.[1]
Oleh sebab itulah, maka KHI lahir untuk memberikan solusi terhadap berbagai persoalan di atas. Tidak menutup kemungkinan term ‘Hibah Wasiat’ yang tidak kita temukan dalam KHI, akan tetapi kita temukan dalam istilah sehari-hari. Dan bagaimana KHI memandang term ini.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan masalah di atas, penulis mengambil permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian hibah wasiat?
2. Bagaimana hibah wasiat dalam perspektif KHI?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hibah Wasiat
Hibah wasiat adalah penetapan pembagian harta benda milik seseorang semasa hidupnya dan pembagian ini berlaku sejak saat matinya si pemberi hibah. Hibah wasiat ini oleh si pemberi hibah sampai saat ia menghembuskan kaapasnya yang penghabisan setiap waktu dapat ditarik kembali.
Lazimnya hibah wasiat ini selalu dibuat dalam bentuk tertulis yang lazim diistilahkan dengan surat hibah wasiat, dan biasanya dibuat atas persetujuan ahli waris, dan sebagai bukti persetujuan, mereka ikut mencantumkan tanda tangannya dalam surat hibah wasiat tersebut.[2]
Hibah wasiat yang berasal dari bahasa Arab dalam Hukum Agama Islam ialah perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat.[3]
Sedangkan menurut KUH Perdata, hibah wasiat atau legaat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan barang-barangnya dari jenis tertentu.[4]
Wasiat terambil dari kata Arab al-washiyah (jamaknya washaya), secara harfiyah antara lain berarti: pesan, perintah dan nasihat. Ulama fiqih mendefinisikan wasiat dengan: penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.[5]
Hibah ialah pemberian seseorang kepada orang lainnya.[6]
Sedangkan menurut KHI, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171, poin f).
Dan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171, poin g).[7]
B. Hibah Wasiat dalam Perspektif KHI
Untuk hibah wasiat Prof. Hazairin mengemukakan komentarnya sebagai berikut:
“Selain daripada hibah atau penghibahan menurut adat itu, ada pula perbuatan si pemilik di masa hidupnya yang dinamakan hibah wasiat, yaitu suatu pernyataan di hadapan calon-calon ahli warisnya dan dihadapan anggota-anggota keluarga lainnya bahwa suatu barang tertentu kelak sesudah matinya diperuntukkan untuk seseorang tertentu yang sekali-kali bukan ahli warisnya. Hibah wasiat itu telah mendekati pengertian wasiat.”[8]
Kata hibah dan wasiat yang ada dalam pengertian agama Islam digabungkan, sehingga artinya menjadi kacau, kalau kita berpegang pada asal artinya yang ada dalam hokum kewarisan Islam itu, demikian menurut Sajuti Thalib Dosen Penanggung Jawab mata kuliah Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam serta Hukum Kewarisan Islam pada fakultas hokum Universitas Indonesia dalam salah satu makalahnya untuk seminar tanggal 15 April 1985 di kampus Universitas Indonesia Jakarta, dikemukakan:
Arti hibah wasiat sekarang dalam masyarakat Indonesia ialah apa yang dimaksud wasiat dalam hokum kewarisan Islam. Berhubung dengan itu Sajuti Thalib pemakaian kata-kata hibah wasiat dalam hokum kewarisan setidak-tidaknya yang berkenaan dengan hokum kewarisan Islam supaya ditinggalkan.[9]
Pada hokum adapt, terkadang penghibahan harta di waktu seseorang masih sehat dianggap sebagai awal dari pembagian harta warisan si penghibah jika nanti ia wafat.
Perbedaaan yang menyolok antara suatu penghibahan yang biasa dan hibah wasiat adalah, bahwa hibah biasa umumnya tak dapat diambil kembali, sedangkan hibah wasiat dapat diambil kembali oleh si penghibah.[10]
Oleh sebab itulah, maka penulis lebih condong bahwa hibah wasiat dalam KHI adalah wasiat itu sendiri.
Ada beberapa hal penting berkenaan dengan soal wasiat ini. Diantaranya ialah tentang rukun (unsur) dan syarat-syarat wasiat. Termasuk didalamnya tentang syarat-syarat wasiat. Termasuk didalamnya tentang syarat-syarat al-mushi/al-muwashshi (orang yang berwasiat). Menurut mayoritas ulama fiqih, yang lazim dikenal dengan sebutan jumhur al-fuqoha, ada empat rukun (unsur) wasiat, yaitu:
1. orang yang berwasiat atau al-mushi/al-muwashshi,
2. orang/pihak yang menerima wasiat atau al-musha lah/al-musha ilayh,
3. barang/harta yang diwasiatkan (al-musha bih), dan
4. sighat atau ijab kobul wasiat.[11]
Dalam KUH Perdata persoalan ini diatur dalam pasal 874-894 mengenai surat wasiat, yang isinya hamper senada dengan hokum Islam.
Baik hokum Islam maupun hokum Barat, keduanya tidak membenarkan (melarang) wasiat seseorang yang merugikan ahli waris yang sebenarnya sudah seharusnya mendapatkan warisan. Burgerlijk Wetbek (BW) menegaskan bahwa: segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya suatu ketetapan yang ada.
Pasal 874 BW, yang menerangkan tentang testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan (testament) itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pembatasan penting, misalnya terletak dalam pasal-pasal tentang legitime portie, yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahli waris dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Guna melindungi ahli waris_terutama dzawil furudh_dari kemungkinan tidak memperoleh harta warisan karena diwasiatkan si mati kepada orang-orang lain, hokum Islam membatasi kadar maksimal harta yang boleh diwasiatkan al-mushi kepada seseorang atau bebrapa orang yang dia kehendaki. Batas maksimal wasiat yang dimaksudkan ialah 1/3 (sepertiga) harta miliknya. Jika al-mushi mewasiatkan hartanya melebihi dari sepertiga harta yang dia punyai, maka ahli waris berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk membatalkan wasiat al-mushi. Atau sekurang-kurangnya bias menyampaikan keberatan kepada orang (pihak) yang oleh al-mushi ditunjuk sebagai pelaksana wasiat (al-washi). Dan al-washi dibenarkan mengubah wasiat yang melebihi sepertiga harta al-mushi.
Wasiat dalam hokum Islam pada dasarnya hanya ditujukan kepada orang lain di luar ahli waris, atau terutama kepada ahli waris yang karena alas an lain seperti mahjub (terhalang oleh ahli waris lain) tidak mendapatkan warisan. Sedangkan wasiat terhadap ahli waris, hanya dimungkinkan bila ahli waris yang lain menyetujui pemberian wasiat dari al-mushi.[12]
Dalam KHI, perihal ini terdapat dalam Buku II Hukum Kewarisan Bab V Pasal 194-209 mengenai wasiat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hibah wasiat adalah penetapan pembagian harta benda milik seseorang semasa hidupnya dan pembagian ini berlaku sejak saat matinya si pemberi hibah. Hibah wasiat ini oleh si pemberi hibah sampai saat ia menghembuskan kaapasnya yang penghabisan setiap waktu dapat ditarik kembali.
2. Hibah wasiat dalam KHI adalah wasiat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Amin Summa, Muhammad. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Demarsalim. 1991. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
K. Lubis, Suhrawardi, Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis). Jakarta: Sinar Grafika
Ramulyo, Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika
Sumitro, Warkum. 2005. Perembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia
[1] Warkum Sumitro, Perembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia, 2005, h. 178
[2] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Jakarta: Sinar Grafika, 1995, h. 41
[3] Demarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 83
[4] Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 1994, h. 155
[5] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 128
[6] Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW), …, 1994, h. 145
[7] Kompilasi Hukum Islam
[8] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), …, h. 41
[9] Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW), …, h. 151-152
[10] Demarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, …, h. 85
[11] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h. 129
[12] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h. 130-131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar